Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing

Kantor Pusat: Jl. Menteng VII, Perumahan Menteng Indah Blok B1/31 Medan 20228, Telf. (061) 7860787, e-mail: pid.mandailing@gmail.com
Perpustakaan dan Museum Kebudayaan Mandailing: Sopo Sio Parsarimpunan ni Tondi Mandailing, Saba Garabak, Ds. Hutapungkut Jae, Kec. Kotanopan, Mandailing-Natal 22994.


WILLEM ISKANDER, Perintis Pendidikan Indonesia

foto repro Kompas
(16/11/15)
Willem Iskander (1840-1876), mendirikan Kweekschool (Sekolah Guru) di Tanobato (1862-1874), Kab. Mandailing Natal. Walaupun tercatat sebagai orang pertama yang merintis dunia pendidikan di Indonesia (masa penjajahan Belanda), namun nama Willem Iskander kurang dikenal dibanding dengan Ki Hajar Dewantara (Perguruan Taman Siswa, 1922) atau Muhammad Syafei (INS Kayutanam, 1926). Basyral Hamidi Harahap, penulis dan peneliti tentang Mandailing mengingatkan juga tentang dua nama besar dalam sejarah pendidikan di Indonesia yaitu Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, pendiri Indische Vereeniging (kemudian menjadi Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda (1928) dan  Ja Endar Muda seorang raja suratkabar di Sumatra ketika itu. Keduanya adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan (pengganti Kweekschool Tanobato yang ditutup pada 1874). Profesor Charles Adriaan van Ophuijsen pernah memimpin sekolah ini dan nama ini mengingatkan kita kepada Ejaan van Ophuijsen. 

Nama asli Willem Iskander adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar. Ia adalah anak dari Raja Tinating dari Pidoli Lombang, Panyabungan dan merupakan keturunan ke-11 dari marga Nasution. Menurut tarombo (silsilah) marga Nasution, Sibaroar gelar Sutan Diaru mempunyai dua anak yaitu Tuan Moksa dan Tuan Natoras. Willem Iskander adalah keturunan dari Tuan Natoras yang memiliki dua anak yaitu Baginda Mangaraja Enda dan Baginda Tobing Nainjang. Baginda Mangaraja Enda memiliki anak yang salah satunya adalah Sutan Kumala Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar. Salah seorang anak Sutan Kumala adalah Mangaraja Soaloon yang tinggal di Pidoli Lombang. Salah satu anak Mangaraja Soaloon juga diberinya nama Sutan Kumala yang menjadi ayah dari Mangaraja Tinating. Mangaraja Tinating memiliki anak bernama Sutan Kumala Porang yang kemudian memberi nama anaknya lagi sebagai Mangaraja Tinating. Mangaraja Tinating inilah yang menikah dengan Boru Lubis dari Desa Roburan dan melahirkan Willem Iskander. Dengan perkataan lain Willem Iskander adalah generasi ke-11 dari nenek moyang marga Nasution, Si Baroar. 

Lahir di Desa Pidoli Lombang pada Maret 1840, kehidupan Willem Iskander banyak diwarnai oleh suasana peperangan antara pribumi melawan penjajahan Belanda. Pada Desember 1933 (tujuh tahun sebelum kelahiran Willem Iskander), Belanda memasuki Tamiang (Mandailing Julu), setelah mundur dari Rao akibat serangan pasukan Paderi. Pada 1835, Belanda mendirikan benteng di Singengu dan menunjuk seorang kontrolir Belanda bernama Bonnet berkedudukan di Kotanopan. Perlawanan dari orang Mandailing dimulai oleh Sutan Mangkutur dari Huta Na Godang (1837). Walaupun Belanda dapat memadamkan perlawanan rakyat namun suasana perlawanan terus berlangsung sampai kemerdekaan 1945. Tidak heran jika dalam salah satu sajaknya berjudul "Mandailing" Willem Iskander menulis di salah satu bait:
      "Adong alak ruar, Na mian di Panyabungan, Tibu ia Aruar, Baen ia madung busungan.           Terjemahannya, Ada orang luar, Yang berdiam di Panyabungan, Ia segera keluar,                 Sebab perutnya sudah busungan."


Buku terbaru dan saat ini dianggap lebih lengkap membahas tentang Willem Iskander adalah: Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang Kelas, tulisan St. Sularto, diterbitkan oleh Kompas (Mei 2016). 

Berikut kami kutipkan kata sambutan Pendiri PIDM, Dr. Rizali H. Nasution yang dimuat di buku tersebut.

WILLEM ISKANDER
Berpikir dan berbuat melampaui zamannya


Rizali Harris Nasution
Pendiri Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing

Terkejut dan gugup sejenak adalah reaksi pertama saya ketika membaca surat Pak Sularto –melalui email, yang meminta saya untuk memberikan kata sambutan di buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas, ini. Sebagai orang Mandailing dan “pencinta Mandailing”, saya bukanlah ahli sejarah atau antropologi. Namun dalam kegiatan di Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing –yang saya dirikan bersama kawan-kawan sesama pencinta Mandailing, sejak awal 2010, saya menyadari betapa orang Mandailing memiliki paling tidak tiga kekayaan non-benda. Pertama, huruf (surat) dan tulisan Mandailing atau dikenal sebagai surat tulak-tulak. Tulisan mana –menurut Uli Kozok, dalam bukunya Surat Batak, kemudian menyebar dari Wilayah Mandailing ke utara dan berkembang di wilayah-wilayah Angkola, Toba, Karo dan Simalungun. Kedua,  terdapat nama Mandailing (Mandahiling) di dalam syair ke-13 Naskah Kakawin Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca yang menunjukkan keberadaan wilayah dan etnis Mandailing telah ada dan dikenal sejak saat Kerajaan Majapahit (1350-1389) atau tahun 1287 Caka. Mandailing sendiri memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai nama wilayah yang berada di Kabupaten Mandailing Natal dan kedua sebagai nama etnis yang tinggal di sebagian besar wilayah itu. Seperti diketahui Naskah asli Negarakertagama masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV, Belanda. Naskah ini sejak 20 Juni 2013 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World).  Nah, yang ketiga adalah sosok Willem Iskander atau ketika lahir diberi nama Sati Nasution, seorang perintis pendidikan, guru, pengarang prosa dan puisi yang cara berpikir, karakter, kegiatan dan karya-karyanya –ketika itu, melampaui zaman saat ia hidup.

Willem Iskander, sebuah nama yang sangat dikenal oleh penduduk yang tinggal di Kabupaten Mandailing-Natal. Sangat dikenal? Ya, setidaknya karena nama Willem Iskander diabadikan menjadi nama sebuah jalan besar sebagai bagian dari jalan Lintas Sumatra yang membelah Kota Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing-Natal, Propinsi Sumatra Utara. Bagaimana dengan sejarah hidup, ide-ide dan peranan Willem Iskander dalam memajukan kehidupan di Mandailing? Nah, kalau yang ini saya meragukan apakah orang Mandailing, terutama generasi yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia masih mengenalnya.

Willem Iskander meninggal pada 8 Mei 1876 atau 140 tahun yang lalu. Ia lahir pada Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing. Hal itu berarti saat dewasa ia berhadapan dengan masa penjajahan Belanda. Belanda memasuki Mandailing pada Desember 1833 melalui Tamiang (Mandailing Julu) setelah dipukul mundur oleh pasukan Paderi dan tak mampu mempertahankan Benteng Amerongen sebagai markas pasukan mereka di Rao, Sumatra Barat. Pada 1835 untuk pertama kali Belanda mengangkat seorang kontrolir bernama Bonnet berkedudukan di Kotanopan. Sejak itulah perlawanan orang Mandailing terhadap penjajah Belanda muncul yang dimulai oleh Sutan Mangkutur dari Huta na Godang (sekarang Kecamatan Ulu Pungkut). Walaupun perlawanan ini dapat dipatahkan, namun sejarah mencatat perlawanan terhadap Belanda sampai masa kemerdekaan tak pernah surut di Mandailing bahkan beberapa perintis kemerdekaan dari Mandailing ada yang dibuang ke Digul (Papua).

Masa dewasa Willem Iskander di masa penjajahan Belanda menjadi penting karena ia menyuarakan semangat kemerdekaan tidak saja melalui keinginan dan kegiatannya yang luar biasa memberikan pendidikan kepada orang Mandailing. melalui pendirian Sekolah Guru Bumiputra (KweeksSchool) di Tano Bato (sekitar 17 km dari Panyabungan). Tetapi ia juga menyuarakan semangat kemerdekaan melalui sajak-sajak yang ditulisnya. Lihatlah salah satu bait dalam sajak yang berjudul Mandailing:
                                             Adong alak ruar (Ada orang luar)
                                             Na mian di Panyabungan (yang tinggal di Panyabungan)
                                             Tibu ia aruar (Ia segera keluar)
                                             Baen ia madung busungan (karena perutnya sudah busungan)

Tentu saja bait ini ditujukan Willem Iskander untuk menyindir kaum kolonial Belanda yang mengeruk hasil bumi Mandailing. Tidak heran jika pada 1930-an tulisan Willem Iskander –terutama yang terdapat dalam buku Si Bulus Bulus Si Rumbuk Rumbuk, pernah dilarang penggunaannya oleh penjajah Belanda. Perlu dicatat bahwa salah satu hasil bumi Mandailing yang sangat terkenal sampai sekarang adalah kopi arabika Mandailing (Mandheling coffee) dan emas. Tidak heran jika Mandailing juga dikenal dengan sebutan Tano Sere (Tanah Emas). Kopi Mandailing tidak saja dikenal di Indonesia, tetapi telah mendunia.


 Di atas telah disampaikan bahwa pemikiran Willem Iskander jauh melampaui zaman ketika ia hidup. Pendirian sekolah guru menunjukkan bahwa Willem Iskander memikirkan keberlanjutan pendidikan dengan mencetak guru sebanyak mungkin. Ketika itu masyarakat Mandailing umumnya masih hidup secara tradisional yaitu bertani atau berkebun dan hasilnya untuk dipergunakan sendiri atau dijual. Buta huruf bukan sesuatu yang aneh, belum menjadi kebutuhan dan buku masih menjadi sesuatu yang “mahal”. Ketegaran pendirian dan karakter Willem Iskander juga terlihat ketika ia tidak menjadi sombong ketika mendapat kesempatan belajar ke Negeri Belanda. Hal ini ditandai dengan sajak yang ditulisnya sebelum ia berangkat tahun 1857,

                              Tinggal ma ho jolo ale (Tinggallah engkau dahulu)
                              Anta piga taon ngada u boto (entah berapa tahun aku pun tak tahu)
                              Muda u ida ho mulak muse (jika nanti engkau ku lihat lagi)
                              Ulang be nian sai ma oto (kuharap tidak lagi dalam kebodohan)

                              Lao ita marsarak (saat kita berpisah ini)
                              Marsipaingot dope au di ho (kuberi nasehat lagi padamu)
                              Ulang lupa paingot danak (jangan lupa mengingatkan anak-anak)
                              Manjalai bisuk na peto (mencari ilmu yang hakiki)

Selain menjadi guru di sekolah guru, ia juga seorang penulis prosa dan puisi yang tak tertandingi sampai saat ini. Buku Si Bulus Bulus Si Rumbuk Rumbuk (Lurus, Tulus, Mufakat), selain mecerminkan luasnya pengetahuan Willem Iskander juga menunjukkan keinginan yang kuat menjaga tradisi Mandailing. Di sekolah yang dipimpinnya, ia menjadikan Bahasa Mandailing dan Melayu untuk menjelaskan konsep ilmu pengatahuan dari Barat kepada murid-murid. Ketaatan pada Sang Pencipta sangat menonjol dalam tulisan-tulisannya. Dan tidak kalah pentingnya memberikan kritik yang tajam kepada penjajah Belanda. Mari kita lihat betapa dekatnya Willem Iskander dengan Tuhan dalam salah satu bait prosa yang berjudul Amamate Alak na Lidang (Kematian Orang yang Jujur),

O, Tuhan! Ta patibuma au mardalan. Por roangku tibu aruar tingon bagasan uling-kuling on. Madung tangking au …. Giot meninggalkon… portibi on. Roma…upasahat…tondingku..di bagasan tangan Ta.

Artinya: Ya Tuhan, segerakanlah ajalku. Aku ingin keluar dan terlepas dari dunia yang penuh kebohongan ini. Aku sudah menanti…. Untuk meninggalkan dunia ini. Datanglah… kuserahkan nyawaku dalam genggaman Mu.

Namun di sisi lain ia juga menulis humor yang segar seperti dalam judul Siakkak Dohot Landuk (Gagak dan Pelanduk), di mana pelanduk memuji-muji suara gagak dan memintanya untuk bersuara. Gagak terpengaruh dan mengeluarkan suara yang kuat. Jatuhlah pisang di paruhnya ke tanah, pelanduk tertawa sambil melarikan pisang. Itulah Willem Iskander yang melakukan hal-hal yang sangat inovatif pada masa hidupnya menjadi kenyataan di saat orang lain bahkan belum memikirkan hal itu.

Memang ada kontroversi tentang kehidupan Willem Iskander terutama tentang pernikahan, perpindahan agama dan kematiannya di Negeri Belanda. Namun masyarakat Mandailing tidak terlalu mempersoalkan hal itu karena jasa-jasanya jauh lebih penting untuk dikenang dan diteruskan. Walaupun seharusnya memang harus ada fakta tentang ketiga hal di atas untuk melengkapi  sejarah kehidupannya. Buku ini memuat banyak hal tentang kehidupan Willem Iskander yang selama ini terserak di berbagai buku dan tulisan. Saya sendiri merasa kesulitan untuk menulis kata sambutan ini, karena rasanya “lebih nikmat” membaca naskah buku tentang orang yang juga saya kagumi.

Terima kasih dan penghargaan kepada Bapak St. Sularto dan tim yang telah bekerja keras mengumpulkan bahan sehingga buku ini  terbit. Sekarang dan bertahun-tahun kemudian buku ini akan menjadi monumen kekayaan bangsa Indonesia melalui etnis yang beragam, di bidang pendidikan. Tinggallah kita dan generasi berikutnya berpikir dan berbuat……. kenapa harus kalah, tingkatkan inovasi baru sehingga pendidikan di Indonesia tetap mampu bersaing dalam pergaulan dunia. Tetaplah jujur, rendah hati dan peduli, sebagai wujud penghargaan kita kepada Willem Iskander. Akhirnya, hanya ada satu kalimat yang paling tepat untuk mengenang Willem Iskander: maroban sulu di na golap, maroban tungkot di na landit (membawa suluh dalam kegelapan, membawa tongkat di tempat yang licin). Horas tondi madingin, pir tondi matogu, sayur matua bulung.

                                                                                                                        Medan, Maret 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar